Sabtu, 27 Agustus 2011

khisab dan rukyah


Dua kata dalam judul tulisan ini, yaitu khisab dan rukyah,  selalu muncul di tengah masyarakat pada setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan dan demikian juga pada menjelang datangnya hari raya. Khisab artinya adalah menghitung, sedangkan rukyah adalah melihat. Keduanya, baik  yang dihitung dan yang dilihat adalah sama, yaitu posisi bulan.
  

Manakala dalam hitungan atau dalam hasil  khisab bulan sudah tampak, maka artinya bulan qomariyah sudah berganti, sehingga harus puasa atau menghentikan puasa, karena sudah  masuk hari raya idul fitri. Begitu juga, orang-orang yang lebih percaya menggunakan cara melihat atau merukyah untuk mengetahui, apakah bulan sudah kelihatan.

Dua cara yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan bulan mestinya hasilnya sama. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Hasil khisab tidak selalu sama hasil rukyah. Itulah sebabnya, awal  bulan puasa dan atau jatuhnya hari raya tidak selalu sama. Anehnya, perbedaan itu terjadi di antara dua organisasi besar, yaitu Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah biasanya untuk menentukan posisi bulan menggunakan khisab, sedanghkan NU menggunakan rukyah.  

Dengan menggunakan cara yang berbeda dalam melihat posisi bulan pada setiap tahun  itu menjadikan kata tersebut -----khisab dabn rukyah sedemikian populer. Selain itu, menunjukkan bahwa para tokoh umat Islam sedemikian hati-hati dalam menjalankan sesuatu terkait dengan kegiatan ritual. Kehati-hatian itu juga menunjukkan adanya keyakinan bahwa,  apa saja  yang terkait dengan kegiatan ritual harus persis, tepat, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih, agar kegiatan itu diterima oleh Allah swt.

Sedemikian penting kegiatan ritual harus dilakukan secara persis, hingga kadang harus mengorbankan sesuatu yang lain yang juga tidak kurang pentingnya, yaitu persatuan. Sebab dengan perbedaan itu, kadang tidak saja masyarakat bawah menjadi repot, atau juga bingung,  lebih dari itu juga konflik, baik tersembunyi maupun terang-terangan. Umat Islam menjadi tidak bersatu. Tuhannya satu, nabinya satu, al Quránnya satu, kiblatnya satu,  hanya saja penentuan awal bulan puasa atau hari raya, ------karena hasil khisab dan rukyah berbeda, terpaksa tidak sama.

Saya tentu ikut menghargai kehati-hatian para pemimpin organisasi Islam itu. Akan tetapi, saya selalu membayangkan,  umpama dengan niat untuk menyatukan umat, lalu para tokoh bersepakat tentang metode penentuan awal bulan, maka akan selalu menghasilkan keputusan yang sama. Sudah lama saya berusaha memahami bagaimana cara nabi dahulu menentukan awal bulan puasa dan juga datangnya hari raya. Ternyata dari keterangan yang saya dapatkan, cara yang ditempuh nabi tidak terlalu rumit.

Di zaman nabi tidak perlu ada sidang isbath segala. Jika ada seseorang mengkhabarkan telah melihat bulan, dan orang tersebut dipercaya, maka informasi itu dijadikan dasar penentuan awal bulan. Rupanya hal itu agak berbeda dengan sekarang. Masing-masing anggota organisasi hanya percaya terhadap pimpinan organisasinya. Seolah-olah orang hanya akan percaya dengan pimpinannya sendiri dan begitu pula sebaliknya. Saling tidak percaya ini, akibatnya persatuan yang sebenarnya wajib dilakukan, terpaksa  menjadi terabaikan. Persatuan umat seakan-akan menjadi tidak penting.

Perbedaan itu kemudian dicarikan pembenarnya,  dengan mengatakan bahwa di balik perbedaan itu terdapat rakhmat. Padahal dalam tataran empirik, perbedaan dalam soal ritual akan sulit ditemukan rakhmat itu. Biasanya perbedaan dalam ritual, justru akan melahirkan musibah. Kita lihat saja selama ini akibat perbedaan itu, justru terjadi saling menyindir, mengolok, dan bahkan juga konflik. Perbedaan yang  membawa rakhmat, biasanya adalah pada hal-hal yang terkait dengan ilmu, yaitu temuan-temuan,  hasil pemikiran,  atau kajian ilmiah. Buah pikiran dan hasil penelitian, semakin diperdebatkan akan berkembang dan banyak orang yang mendapatkan manfaat dari berbedaan itu. Inilah kiranya, perbedaan yang membawa rakhmat.

Memperhatikan resiko perbedaan hasil khisab dan rukyat yang sedemikian besar itu, maka saya selalu berusaha mencari hikmah dari cara menentukan awal bulan yang berbeda itu. Melalui perenungan yang lama dan mendalam, saya mendapatkan pandangan, yaitu umpama semangat melakukan hisab dan juga rukyah itu diimplementasikan pada wilayah kehidupan yang luas,  maka sesungguhnya hasilnya akan luar biasa besarnya. Umpama rukyah dan hisab itu tidak saja dilakukan terhadap bulan, tetapi juga terhadap kegiatan lainnya,  seperti ekonomi, politik, kepemimpinan, manajamen, pendidikan,  dan sosial lainnya, maka akan lebih membawa manfaat yang amat besar.

Misalnya, seorang pemimpin selalu mengkhisab dan merukyah aspirasi bawahannya, prestasi kerjanya, kesejahteraannya, hak-haknya, ketersediaan fasilitasnya, hambatan, dan juga kesulitan-kesulitannya dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, maka lembaga yang dipimpin akan semakin maju. Apalagi hasil khisab dan rukyah itu selalu ditindak-lanjuti. Demikian pula seorang pekerja, selalu mengkhisab dan merukyah sendiri cara kerjanya, apakah sudah ditunaikan secara maksimal, dan kemudian hasilnya dijadidakan dasar perbaikan selanjutnya, maka manfaatnya  akan luar biasa besarnya.

Demikian pula, kaum muslimin,  mestinya juga selalu mengkhisab dan merukyah, berapa penghasilannya setiap tahun yang harus dikeluarkan zakat, infaq dan shadaqahnya. Selain itu, --------masih terkait dengan rizki, bagaimana kewajibannya teradap anak yatim, orang miskin, terlantar dan sebaginya, apakah sudah ditunaikan sebaik-baiknya. Jika semua kaum muslimin yang berasal dari semua organisasi,  juga selalu mengkhisab dan atau me-rukyah-nya, sebagaimana mereka mengkhisab dan merukyah bulan pada setiap tahunnya, maka  kegiatan itu akan luar biasa besar dampak sosialnya.

Selain itu hal yang tidak kurang pentingnya, misalnya para pejabat dalam menggunakan uang negara, juga perlu mengkhisab dan merukyah, apakah keputusan yang diambil tidak termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme, dan seterusnya. Pejabat yang rajin mengkhisab dan merukyah kebijakan yang diambil, dan selalu menyesuaikan dengan nilai-nilai agama yang dipercayainya, maka tidak akan melakukan penyimpangan. Sebab seorang pejabat tatkala  mengambil keputusan, ia akan merasa bahwa apa yang dilakukan, adalah merupakan bagian dari ibadahnya,  tidak ada bedanya dengan kegiatan ritual, seperti  puasa atau hari raya. Jika keputusannya itu  salah, padahal itu disengaja, maka  akan mendatangkan dosa baginya.

Oleh karena itu, khisab dan rukyah adalah penting. Hanya saja, ke depan dalam pelaksanaannya, kiranya perlu kearifan dari para pemimpin, agar umat tidak terpecah-belah karena persoalan ritual ini. Perbedaan pelaksanaan ritual ternyata sudah muncul sejak zaman Nabi.  Namun dalam banyak kasus,  jika terjadi perbedaan pelaksanaan ritual di kalangan sahabat, lalu dikonsultasikan kepada Nabi, maka Rasulullah  tidak jarang membenarkan semuanya. Selain itu, sebenarnya banyak hal lain yang  seharusnya justru  selalu dikhisab dan dirukyah sebagaimana contoh-contoh di muka. Artinya wilayah yang dikhisab dan atau dirukyah  semestinya diperluas, ---------tidak saja bulan yang ukurannya besar sekali itu, tetapi juga kegiatan lain yang sifatnya mendesak dan justru lebih bermanfaat bagi kehidupan. Wallahu a’lam. 
Perhatian :Bos? pilih aja yang bisa jadi inspirasimu, bos mau meng copy? silahkan gratiiiis, mau pasang iklan? Boleh (gak gratis) he he he

0 komentar:

Posting Komentar